Oleh.
Asnawan
(Dosen
STAI AL Falah As Sunniyyah Kencong Jember)
Abstrak
Tulisan ini membahas tentang perkembangan madrasah pada abad pertengan
dan pemikirannya sehingga mempunyai dampak terhadap perkembangan pemikiran
muslim terutama pada lembaga pendidikan Islam, penguasaan ilmu pengetahuan pada
abad pertengan ini memberikan angin segar terhadap keberlanjutan pendidikan
islam di masa-masa berikutnya, jenjang pendidikan mulai yang sederhna hingga
pada pendidikan tingkat tinggi. Untuk itu tulisan ini menelaah lebih dalam
tentang perkembangan lembaga pendidikan Islam.
Kata Kunci: Sejarah,Madrasah, Abad Pertengahan
PENDAHULUAN
Pada masa-masa klasik, dunia pendidikan Islam
masih belum mengenal sistem madrasah. Kegiatan pendidikan selalu dilaksanakan
di tempat yang sederhana dan dianggap paling memungkinkan untuk mengkaji suatu
topik permasalahan dalam bidang tertentu, khususnya persoalan agama. Umumnya kegiatan
pendidikan dapat dilakukan di rumah-rumah sahabat, rumah ulama’, majlis,
masjid, halaqah dengan jenjang pendidikan dasar (kuttâb), jenjang
menengah (masjid/masjid khân dan zawiyah) sampai tingkat tinggi
(madrasah/al-Jâmi’ah), Majlis al-Munazharah, Majlis al-Muzakarah, Majlis al-Tadris, shuffah, khanqah, ribath, toko buku,
perpustakaan, rumah sakit dan badi’ah (Padang Pasir, Dusun Tempat Tinggal Badwi).[1]
Sementara
Syamsul Nizar mengemukakan lembaga-lembaga pendidikan era klasik pra madrasah
itu adalah Rumah, Kuttab, Masjid, dan Saloon.[2]
Ketika menjelaskan mengenai ragam institusi
pendidikan islam sebelum madrasah, George Makdisi juga menyebutkan bahwa dalam
islam juga dikenal pembagian jenis institusi pendidikan berdasarkan sifat ilmu
yang dipelajari. Ada dua macam lembaga pendidikan, yaitu lembaga pendidikan
eksklusif (tertutup) yang hanya mengajarkan pengetahuan agama, dan lembaga
pendidikan inklusif (terbuka) yang juga mengajarkan pengetahuan umum. Adapun
yang termasuk ke dalam kategori lembaga pendidikan eksklusif yaitu halaqah,
masjid dan madrasah. Sedangkan yang termasuk ke dalam kategori lembaga
pendidikan inklusif antara lain dâr / bayt, khizânah, rumah sakit
dan bimaristân.[3]
PEMBAHASAN
Pemaknaan Madrasah
Madrasah merupakan isim
makân dari kata darasa yang berarti belajar, yang kemudian menjadi
kata madrasatun yang memiliki makna sekolah/madrasah. Jadi, madrasah berarti tempat belajar bagi siswa atau mahasiswa (umat
Islam). Karenanya istilah madrasah tidak hanya diartikan dalam arti sempit, tetapi bisa pula dimaknai rumah, istana, kuttâb,
perpustakaan, surau, masjid, bahkan juga seorang ibu bisa dikatakan sebagai
madrasah pemula.[4]
Beberapa sumber menyebutkan bahwa madrasah mulai didirikan dan
berkembang pada abad ke 5 H atau abad ke-10 atau ke-11 M.
Madrasah
(bahasa Arab) yang akan dibicarakan dalam
pembahasan ini tidak sama dengan Madrasah (bahasa Indonesia), yang merupakan
lembaga pendidikan dasar atau menengah. Madrasah di sini merujuk pada
lembaga pendidikan tinggi Islam yang secara luas berkembang di Dunia Islam
pra-modern, yakni sejak abad ke-9 dan sebelum era Al-Jami’ah (“Universitas”).
Ciri-ciri lembaga ini tidak dapat dicocokkan secara persis dengan lembaga
pendidikan tinggi yang ada sekarang. Hal ini, menurut Asari menimbulkan
kesulitan besar dalam penerjemahan kata “madrasah” itu sendiri. Para peneliti
sejarah pendidikan Islam yang menulis dalam bahasa-bahasa Barat menerjemahkan
“madrasah” secara variatif, misalnya : “schule” atau “hochschule”
(Jerman), “school”, “college”, atau “academy” (Inggris).[5]
Terkait dengan konotasi istilah madrasah, Charles Stanton
sebagaimana yang dikutip oleh Syaifuddin, menyamakan madrasah dengan Pendidikan Tinggi Islam, walaupun hal
tersebut masih menjadi polemik di antara berbagai sejarawan Islam maupun Barat.
Menurut Stanton, ada beberapa ciri yang
memberikan bukti bahwa madrasah pada masa
awal dapat disejajarkan sebagai pendidikan tinggi Islam. Pertama, madrasah merupakan kelanjutan dari pendidikan sebelumnya
(halaqah/masjid). Kedua, pendidikan
di madrasah diajar oleh seorang
syeikh (profesor). Ketiga, setelah madrasah tidak ada lagi
pendidikan lanjutannya. Madrasah menurutnya
adalah lembaga pendidikan Islam yang khusus mengajarkan ilmu-ilmu yang
terspesialisasi, utamanya ilmu-ilmu keagamaan.
[6]
Menurut Azyumardi Azra dalam pengantar terjemahan buku Stanton, Pendidikan
Tinggi dalam Islam, jika ini diartikan sama dengan “universitas” sebagai universitas
litteratum atau universitas magistrorum--yakni lembaga pendidikan
tinggi yang mengembangkan penyelidikan bebas berdasarkan nalar--maka pandangan
itu keliru.[7]
Sedangkan
Makdisi mengemukakan bahwa Madrasah, tidak sama layaknya universitas. Menurut George Makdisi,
setidaknya ada tiga perbedaan mendasar antara madrasah dan universitas: Pertama,
kata universitas, dalam pengertiannya yang paling awal, merujuk pada komunitas
atau sekelompok sarjana dan mahasiswa, sementara madrasah merujuk pada
satu bangunan tempat kegiatan pendidikan tinggi berlangsung. Kedua, universitas
bersifat hirarkis (pada periode awal berkaitan dengan Gereja) dengan
konsekuensi sistem kontrol yang jelas, sedang madrasah bersifat
individualistis dan personal dengan kontrol otoritas yang sangat lemah. Ketiga,
izin mengajar (ijazah al-tadris, licentia docendi) pada
universitas dikeluarkan oleh komite (semula dengan campur tangan Gereja),
sementara pada madrasah ijazah diberikan oleh syaykh secara
personal tanpa kaitan apa-apa dengan pemerintahan politik atau yang lainnya. Ia
merupakan suatu institusi
dan bukan komunitas. Ia
merupakan salah satu di antara banyak banyak
lembaga
yang ada di suatu tempat dengan independensi masing-masing dari yang lain.
Hal tersebut terutama dari aspek pendanaan
yang diperoleh secara swadaya /
donasi mandiri.[8]
Fenomena
madrasah diterima secara umum sebagai lembaga tifikal Muslim merupakan hasil
perkembangan alami dari dua lembaga yang sudah ada: masjid sebagai lembaga
pendidikan--terutama lembaga pendidikan hukum (college of law) dan khan
sebagai tempat tinggal mahasiswa. Artinya, madrasah menempati langkah
ketiga dari satu garis perkembangan yang berurutan : dari masjid ke masjid-khan,
kemudian ke madrasah.[9]
Dalam sejarah pendidikan Islam, makna dari
madrasah tersebut memegang peran penting sebagai institusi belajar umat Islam selama pertumbuhan
dan perkembangannya. Sebab pemakaian istilah madrasah secara definitif baru
muncul pada abad ke-11. Menurut As-Suyuthi
yang dikutip oleh Azra, istilah ’madrasah’ baru digunakan secara lebih
luas sejak abad ke-9.[10]
Bahkan pada mulanya penggunaan istilah madrasah tidak
hanya mengarah pada maknanya sebagai suatu lembaga pendidikan Islam, akan
tetapi juga sebagai suatu kelompok aliran atau madzhab tertentu. Pada masa itu
ajaran agama Islam telah berkembang secara luas dalam berbagai macam bidang
ilmu pengetahuan, dengan berbagai macam madzhab dan pemikiran. Pembagian bidang
ilmu pengetahuan tersebut bukan saja meliputi ilmu-ilmu yang berhubungan dengan
al-Qur’an dan Hadits, akan tetapi juga ilmu fiqh, ilmu kalam, ilmu
tasawwuf dan juga bidang-bidang ilmu filsafat, astronomi, kedokteran,
matematika dan berbagai bidang ilmu-ilmu alam dan kemasyarakatan.
Aliran-aliran
yang timbul akibat dari perkembangan tersebut saling berebutan pengaruh di
kalangan umat Islam, dan berusaha mengembangkan aliran dan madzhabnya
masing-masing. Maka terbentuklah madrasah-madrasah dalam pengertian kelompok
pikiran, mazhab atau aliran tertentu. Itulah sebabnya sebagian besar madrasah
yang didirikan pada masa-masa itu selalu dihubung-hubungkan dengan nama-nama
madzhab yang masyhur pada masanya, misalnya madrasah Syafi’iyah, Hanafiyah,
Malikiyah atau Hanbaliyah. Sehingga banyak madrasah pada masa tersebut yang
juga memiliki karakter tertentu sebagai pembedanya, yaitu yang terletak pada
aliran/madzhab tertentu yang dijadikan sebagai pusat kajian utamanya.
George Makdisi juga menulis bahwa madrasah bukanlah
lembaga pengajaran Kalam, akan tetapi juga lembaga pengajaran fiqih
(hukum). Kemenangan aliran Asy'ariyah atas Muktazilah tidak ada hubungan dengan
pembangunan madrasah Nizhamiyah dan madrasah tersebut bukanlah lembaga resmi
pemerintah, tetapi lembaga yang dibangun oleh wazir Nizham al-Mulk karena
kapasitasnya sebagai pribadi muslim. Makdisi menulis:
Madrasah adalah lembaga pendidikan tinggi (colleges) hukum, dengan beberapa kajian tambahan. Staf pengajarannya tidak mencakup ahli kalam. Pengajar yang mendapat gelar guru besar (professor) adalah pengajar hukum. Mungkin saja ia juga sebagai ahli kalam, tetapi kapasitasnya lebih kepada ahli hukum (guru besar hukum).
Madrasah adalah lembaga pendidikan tinggi (colleges) hukum, dengan beberapa kajian tambahan. Staf pengajarannya tidak mencakup ahli kalam. Pengajar yang mendapat gelar guru besar (professor) adalah pengajar hukum. Mungkin saja ia juga sebagai ahli kalam, tetapi kapasitasnya lebih kepada ahli hukum (guru besar hukum).
Menurut
Makdisi, di Madrasah tidak ada posisi untuk mengajarkan kalam.
Sisi lain dari tesis Makdisi adalah melibatkan satu argumen linguistik berkaitan dengan satu istilah teknis yang secara luas dipakai dalam dunia pendidikan Islam pra-modern, sebagaimana terlihat dari sumber-sumber sejarah yang ada. Argumen linguistik ini mencakup semua istilah paedagogis yang berasal dari akar kata "darasa". Argumen ini, terutama digunakan oleh Makdisi untuk mendukung pernyataannya bahwa madrasah adalah suatu lembaga pendidikan fiqih. Makdisi menjelaskan: Justifikasi penerjemahan kata madrasah ini menjadi lembaga pendidikan tinggi hukum dapat ditemukan dalam arti teknis kata jadian dari akar kata darasa. Istilah untuk hukum adalah fiqih. Sebuah pelajaran fiqih disebut dengan dars. Seorang guru besar fiqih adalah mudarris dan darrasa, dalam penggunaannya bila tidak dikaitkan dengan ilmu tertentu, berarti mengajarkan fiqih. Darrasa dan tadris, secara berturut-turut berarti mengajarkan hukum dan hal-hal yang berhubungan dengan pengajaran hukum/fiqih.[11] Sehingga istilah madrasah menurutnya tidak jauh dari lembaga pendidikan bidang ilmu fiqih.
Sisi lain dari tesis Makdisi adalah melibatkan satu argumen linguistik berkaitan dengan satu istilah teknis yang secara luas dipakai dalam dunia pendidikan Islam pra-modern, sebagaimana terlihat dari sumber-sumber sejarah yang ada. Argumen linguistik ini mencakup semua istilah paedagogis yang berasal dari akar kata "darasa". Argumen ini, terutama digunakan oleh Makdisi untuk mendukung pernyataannya bahwa madrasah adalah suatu lembaga pendidikan fiqih. Makdisi menjelaskan: Justifikasi penerjemahan kata madrasah ini menjadi lembaga pendidikan tinggi hukum dapat ditemukan dalam arti teknis kata jadian dari akar kata darasa. Istilah untuk hukum adalah fiqih. Sebuah pelajaran fiqih disebut dengan dars. Seorang guru besar fiqih adalah mudarris dan darrasa, dalam penggunaannya bila tidak dikaitkan dengan ilmu tertentu, berarti mengajarkan fiqih. Darrasa dan tadris, secara berturut-turut berarti mengajarkan hukum dan hal-hal yang berhubungan dengan pengajaran hukum/fiqih.[11] Sehingga istilah madrasah menurutnya tidak jauh dari lembaga pendidikan bidang ilmu fiqih.
Keterangan
di atas cukup menggambarkan secara garis besar kurikulum pendidikan yang
diajarkan di madrasah. Ilmu-ilmu agama sangat jelas mendominasi madrasah,
seperti juga di lembaga masjid atau masjid khan. Sejauh pengalaman ahli
sejarah pendidikan Islam saat ini, belum ada rincian yang jelas tentang
kurikulum suatu madrasah. Hal-hal ini memang dianggap sulit apabila dihubungkan
dengan sifat-sifat madrasah, yaitu pertama, tidak adanya ikatan
organisatoris antara satu madrasah dengan yang lain. Setiap madrasah bebas
menentukan materi dan bentuk pengajarannya sendiri sesuai dengan keinginan
pemberi waqaf (waqif) yang mendukung operasinya. Kedua,
setiap syaikh atau mudarris bebas memilih bidang yang diajarkan.
Pertumbuhan Madrasah pada Abad Pertengahan
Sebagian pendapat ahli menyebutkan bahwa
madrasah merupakan transformasi dari masjid. Ada beberapa teori yang berkembang
seputar proses transformasi tersebut, antara lain George Makdisi yang
menjelaskan bahwa madrasah merupakan transformasi institusi pendidikan Islam
dari masjid ke madrasah yang terjadi secara tidak langsung, dan di antaranya
melalui tiga tahap : pertama, tahap masjid, kedua tahap masjid khân
dan ketiga tahap madrasah. Tahap masjid berlangsung terutama pada abad-abad kedelapan dan abad
kesembilan. Pada masa-masa tersebut banyak masjid yang selain difungsikan untuk
tempat shalat berjamaah namun juga dimanfaatkan sebagai tempat majlis ta’lim/pendidikan
dan membahsa persoalan-persoalan agama. Baghdad menjadi salah satu pusatnya pada
waktu itu. Tahap selanjutnya yaitu masjid khan, yaitu suatu masjid yang
juga dilengkapi dengan bangunan khan atau sejenis asrama /pemondokan
yang letaknya berdampingan dengan masjid tersebut. Asrama tersebut memang
dipersiapkan bagi para penuntut ilmu yang datang dari berbagai kota lainnya.
Masa ini berlangsung pada abad kesepuluh. Kemudian tahap ketiga yaitu madrasah.
Pada tahap ini sudah mulai muncul model madrasah dalam pola yang utuh.
Pelopornya adalah madrasah Nizhâm
al-Mulk di Baghdad.[12]
Makdisi,
lebih lanjut, menjelaskan perkembangan alami lembaga-lembaga tersebut, yakni
bahwa pada abad ke-2/ke-8 atau lebih awal lagi, masjid telah menjadi sebuah
lembaga pendidikan tinggi (college) yang menyediakan gaji untuk stafnya
dan biaya pendidikan untuk mahasiswanya, yaitu masjid khan. Masjid-khan
(the masjid-inn complex) mengambil satu langkah lebih maju dan (dengan)
menyediakan bagi mahasiswa penginapan dan kemungkinan makanan. Akhirnya,
madrasah menyediakan bagi mahasiswa seluruh kebutuhan utamanya dalam belajar.[13]
Berbeda dengan Ahmad Syalabi, menurutnya perkembangan
dari masjid menuju madrasah terjadi secara langsung dan tidak memakai lembaga
perantara. Menurut beliau, perkembangan madrasah
dapat dkatakan sebagai konsekuensi logis dari semakin ramainya kegiatan
pengajian di masjid yang fungsi utamanya adalah sebagai tempat ibadah. Kemudian
untuk tidak mengganggu ketenangan beribadah di masjid, maka kegiatan penddikan
dibuatkan tempat khusus yang kemudian dikenal dengan nama madrasah.[14]
Penjelasan
lain yang memadai untuk mengetahui bahwa madrasah merupakan perkembangan alami
umat Islam datangnya dari Mehdi Nakosteen, yaitu bahwa pelajaran yang diberikan
di maktab-maktab, sekolah-sekolah istana dan sekolah masjid memiliki beberapa
keterbatasan. Kurikulum terbatas, sekolah tidak selalu memiliki guru-guru yang
baik, fasilitas fisik tidak mendukung bagi lingkungan pendidikan yang memadai.[15]
Pertentangan antara tujuan pendidikan dan tujuan agama di dalam masjid
hampir-hampir tidak dapat diperoleh titik temu. Tujuan pendidikan menghendaki
adanya aktivitas sehingga menimbulkan hiruk pikuk, sementara beribadat di dalam
masjid menghendaki ketenangan dan kekhusyukan beribadat. Dengan demikian, sangat
perlu untuk sedapat mungkin membebaskan masjid dari beban-beban
sekular-sektarian. Didirikannya sekolah dengan bentuk baru, yakni madrasah
adalah sesuatu yang wajar dan diperlukan.
Faktor
eksternal yang juga mendukung dikembangkannya konsep baru ini adalah adanya
kenyataan bahwa kemajuan dan penyebaran ilmu pengetahuan menyebabkan adanya
sekelompok orang yang menemui hambatan untuk menciptakan kehidupan yang layak
melalui ilmu pengetahuan abstrak mereka (Tidak jauh berbeda dengan kondisi saat
ini). Oleh karena itu perlu untuk memajukan pendidikan dan memberikan gaji
kepada mereka sebagaimana yang benar-benar telah diwujudkan oleh madrasah.
Lahirnya Madrasah Nizhamiyah di Baghdad
Pembicaraan mengenai madrasah yang pertama kali dibangun
biasanya selalu dikaitkan dengan nama Nizham al-Mulk (w.485/1092), salah
seorang wazir Dinasti Salajiqah atau Seljuk sejak 456/1064 sampai
wafatnya, yang kemudian terkenal sebagai Madrasah Nizham al-Mulk. Sehingga para
sejarawan pendidikan Islam kebanyakan menyimpulkan bahwa Nizham al-Mulk adalah
orang pertama yang mendirikan madrasah.
Madrasah yang didirikan oleh Nizhâm al-Mulk sendiri
dikenal merupakan prototype madrasah berciri Sunni pertama kali yang
didirikan di Baghdad pada tahun 1067, yang diberi nama madrasah Nizhâmiyah
yang didirikan oleh sultan Nizhâm al-Mulk. Madrasah tersebut juga dikenal
sebagai lembaga yang resmi mengajarkan doktrin Asy’ariyah.[16]
Walaupun ada pula yang berpendapat bahwa madrasah tersebut bukanlah yang
pertama kali, namun hingga saat ini berbagai hasil penelitian selalu
menempatkan madrasah tersebut dalam deretan madrasah yang mempelopori
perkembangan lembaga pendidikan islam.
institusi pendidikan yang memperlihatkan ciri-ciri ’madrasah’
sebagaimana yang kita kenal sekarang, didirikan pertama kali di Nisapur, Iran,
pada perempatan pertama Abad ke-11. Setelah beberapa tahun kemudian, muncullah
Karena latar belakang Nizhâm al-Mulk tersebut sebagai
seorang penganut Syafi’iyah, maka keseluruhan madrasah yang dibangun memang
diperuntukkan secara khusus bagi penganut madzhab yang sama. Sehingga jelas
bahwa dalam hal ini posisi kelompok Syafi’iyah (yang biasanya juga Asy’ariyah)
semakin menguat dan secara tidak langsung hal ini berarti semakin melemahnya
kelompok lain. Selain di Nisapur, sultan Nizhâm al-Mulk juga mendirikan
madrasah di tempat lainnya, seperti Basrah, Irak, Isfahan dan Iran. Kemudian
para penguasa muslim lainnya pun mengikuti langkah beliau dengan mendirikan
madrasah-madrasah sendiri. Madrasah-madrasah tersebut tidak hanya
berfungsi sebagai institusi transmisi ilmu saja, akan tetapi
juga sebagai locus utama reproduksi ulama. Bahkan hingga akhir abad ke-13, madrasah juga
disebut-sebut turut memberikan pengaruhnya atas munculnya gerakan ortodoksi Islam Sunni.
Akan
tetapi, penelitian lebih akhir, menurut Azyumardi Azra dengan mengutip Richard
Bulliet bahwa eksistensi madrasah-madrasah lebih tua berada di kawasan
Nishapur, Iran.[17]
Pada sekitar tahun 400 H/1009 M terdapat Madrasah al-Bayhaqiyyah yang didirikan
Abu Hasan ‘Ali al-Bayhaqi (w.414/1023). Bahkan, Bullet menyebut 39 madrasah di
wilayah Persia, yang berkembang dua abad sebelum Madrasah Nizhamiyah. Yang
tertua adalah Madrasah Miyan Dahiya yang didirikan Abi Ishaq Ibrahim ibn
Ibrahim di Nishapur. Pendapat ini didukung sejarawan pendidikan Islam, Naji
Ma’ruf, yang menyatakan bahwa di Khurasan telah berkembang madrasah 165 tahun
sebelum kemunculan Madrasah Nizhamiyah. Selanjutnya, ‘Abd al-’Al mengemukakan,
pada masa Sultan Mahmud al-Ghaznawi (berkuasa 388-421/998/1030) juga terdapat
Madrasah Sa’idiyyah.
Dalam
hal ini baik kiranya diungkapkan pendapat Seyyed Hossein Nasr dalam Sains
dan Peradaban di dalam Islam. Dia mengatakan bahwa lembaga pengajaran
tinggi mencapai klimaks pembangunannya pada pertengahan akhir abad ke-5/ke-11,
ketika wazir Dinasti Seljuq, Nizam Al-Mulk mendirikan suatu rantai perguruan
tinggi (college) atau madaris (tunggal: madrasah) di
Baghdad, Naishapur, dan kota-kota lain.[18]
Pendapat senada diungkapkan oleh Stanton (1994:49), yaitu bahwa Madrasah
Nizhamiyah berdiri sebagai madrasah paling unggul pada abad ke-11. Terletak di
pusat kerajaan, madrasah ini menjadi salah satu pusat pendidikan tinggi yang
paling terkenal abad ini dan menjadi model bagi pembangunan lembaga-lembaga
serupa di seluruh daerah kekuasaan Islam. Lagi pula, oleh karena tersedianya
dokumen-dokumen tentang madrasah ini, para ilmuwan mengetahui Nizhamiyah dan
cara kerjanya lebih baik dari pengetahuan mereka tentang madrasah lain yang
manapun.[19]
Dari dokumen-dokumen
yang ada, meski tidak secara utuh, Stanton menjelaskan tentang Madrasah
Nizhamiyah ini, terutama bentuk wakaf yang membangun dan membiayainya, yaitu:
(1) Madrasah Nizhamiyah merupakan wakaf yang disediakan untuk kepentingan
penganut mazhab Syafi’i dalam fiqh dan ushul al-fiqh; (2) Harta benda yang diwakafkan
kepada Nizhamiyah adalah untuk kepentingan penganut mazhab Syafi’i dalam fiqh
dan ushul al-fiqh; (3) Pejabat-pejabat utama Nizhamiyah harus bermazhab Syafi’i
dalam fiqh dan ushul fiqh, ini mencakup mudarris, wa’idh dan pustakawan;
(4) Nizahamiyah harus mempunyai seorang tenaga pengajar bidang kajian
al-Qur’an; (5) Nizhamiyah harus mempunyai seorang tenaga pengajar bahasa Arab;
dan (6) Setiap staf menerima bagian tertentu dari penghasilan yang diperoleh
dari wakaf Nizhamiyah.[20]
Akan tetapi, sepertinya
kurang lengkap jika tidak dimasukkan paham Asy’ariyah dalam kalam (“teologi”)
di Madrasah Nizhamiyah sebagai prototipe madrasah Sunni. Sebagaimana yang
diungkapkan Murtadha Hasan Naqib sebagai berikut : Madrasah Nizhamiyah adalah
madrasah Syafi’iyah, jika jaringan lembaga pendidikan ini dilihat dalam konteks
dokumen wakaf Nizhamiyah Baghdad dan Isfahan serta afiliasi mahasiswa dan
stafnya, terutama para mudarris, dan untuk siapa satu madrasah dibangun.[21]
Begitupun, Madrasah
Nizhamiyah memang menyebarkan kalam aliran Asy’ariyah, meskipun aspek
ini harus dilihat dalam konteks ke-syafi’iyah-an lembaga tersebut. Kita tidak
punya bukti langsung bahwa para mudarris mengajarkan kalam di
Madrasah Nizhamiyah. Sebelumnya telah ditunjukkan bahwa Al-Juwayni, yang dipercayakan
melaksanakan pengajaran (tadris), memang mengajarkan kalam
Asy’ariyah kepada sejumlah mahasiswanya. Walaupun tidak dapat dipastikan apakah
dia melakukan hal ini di dalam madrasah Nizhamiyah di Nisyapur. Hanya dalam
hubungannya dengan wa’idh, berdasarkan kasus Madrasah Nizhamiyah di
Baghdad, kita memiliki bukti nyata bahwa sang wa’idh (juga beberapa mudarris)
menyebarkan kalam Asya’ariyah di Nizhamiyah.
Penegasan lebih jelas
mengenai Madrasah Nizhamiyah yang mengajarkan kalam Asy’ariyah datangnya
dari Ignaz Goldziher. Bahkan, hal ini dikaitkan dengan kemenangan kalam
Asy’ariyah atas Mu’tazilah dan kelompok Hanbaliyah. Oleh karenanya diungkapkan
bahwa “karya dari lembaga (madrasah) ini menandai satu titik penting tidak saja
dalam pendidikan Islam tetapi juga dalam teologi Islam (baca: ortodoksi
Sunni)”.[22] Oleh karena itu, Azra
(1995:62) menegaskan bahwa “mempunyai komitmen berpegang teguh pada doktrin
Asy’ariyah dalam kalam (“teologi”) dan ajaran Syafi’i dalam fiqh, Madrasah
Nizhamiyah menjadi lembaga pendidikan terkemuka Sunni”.[23]
Dari keterangan di atas dapat dilihat bagaimana gambaran suatu kurikulum di
Madrasah Nizhamiyah, yaitu bahwa ilmu-ilmu agama begitu mendominasi kurikulum
madrasah ini seperti ilmu al-Qur’an (dan tafsirnya), hadis, fiqih, ushul fiqih,
ilmu kalam, dan ilmu-ilmu lain yang terkait dengannya--bahasa Arab (al-nahu)
dan sastra (adab) contohnya.
Di samping di Baghdad, dia pun
mendirikan madrasah-madrasah di Basrah dan Mosul (Irak), Isfahan,
Nishapur, Merv, Balkh, dan Herat (Iran). Penguasa-penguasa Muslim lain di Timur
Tengah segera mengikuti langkah-langkah Nizham Al-Mulk dengan mendirikan
madrasah-madrasah mereka sendiri. Madrasah-madrasah ini berfungsi tidak hanya
sebagai institusi bagi tansmisi ilmu, tetapi juga sebagai locus utama
reproduksi ulama. Sampai akhir abad ke-13, madrasah-madrasah ini menjadi wahana
utama bagi kebangkitan doktrin Sunni.[24]
Dengan demikian, Madrasah Nizhamiyah (dan
madrasah-madrasah lainnya) merupakan satu fenomena penting tidak saja dalam
pendidikan Islam tetapi juga dalam konteks sejarah peradaban Islam secara umum.
Hal ini antara lain karena: (a) pembangunan jaringan Madrasah Nizhamiyah adalah
bagian signifikan dari kejayaan peradaban Islam--khususnya di toritorial
Dinasti Seljuq (429-590/1038-1194); (b) fenomena ini hampir bertepatan dengan
alih kekuasaan dari Dinasti Syi’ah Buwayhi (320-450/932-1062) kepada Dinasti
Sunni Seljuq yang kemudian mengakibatkan terjadinya “kebangkitan kembali”
Sunni; dan (c) sejarah pendidikan Islam menunjukkan bahwa madrasah adalah
lembaga pendidikan Islam par excellence sampai pada periode moderen
dengan diperkenalkannya lembaga-lembaga moderen, seperti universitas.[25]
Madrasah Nizhamiyah ini, pada gilirannya pula, mempengaruhi dan menjadi
model bagi terbentuknya institusi pendidikan Muslim yang serupa di beberapa
wilayah Islam lainnya di kemudian hari. Pengaruh yang sangat terasa dari
kebangkitan madrasah ortodoksi Sunni tersebut, dengan tidak terlalu
lama, terjadi di dua kota suci umat Islam, yaitu Haramayn, Makkah dan Madinah.
Dengan kebangkitan madrasah-madrasah--begitu pula institusi-institusi
keilmuan lainnya, seperti halaqah-halaqah dan ribath-ribath--di
Haramayn ini, pada gilirannya, menjadi pusat keilmuan Islam yang sangat
signifikan dan pusat penyebaran ortodoksi Sunni ke wilayah-wilayah Islam dengan
jaringan ulama-ulamanya. Hal ini
disebabkan, tidak lain, posisi Haramayn yang begitu istimewa bagi umat Islam.
Dengan
signifikansi keagamaan khas seperti itu, menurut Azyumardi Azra , tidak heran
kalau banyak keutamaan (fadha’il) diletakkan kepada Makkah dan Madinah.
Salah satu keutamaannya yang dijelaskan adalah “ilmu yang diperoleh di Haramayn
dipandang lebih tinggi nilainya daripada ilmu yang diperoleh di pusat-pusat
keilmuan lainnya”.[26]
Bahkan, dengan
adanya aktivitas haji setiap tahun, maka Haramayn menjadi pusat intelektual
Dunia Muslim, di mana ulama, sufi, filosof, penyair, penguasa dan sejarawan Muslim
bertemu dan saling menukar informasi. Dengan demikian, para ulama dan penuntut
ilmu di Haramayn pada umumnya memiliki pandangan keagamaan lebih kosmopolitan
dibandingkan mereka yang berada di kota-kota Muslim lain.[27]
Sedangkan kata ”Harâmayn” yang secara bahasa memiliki
arti ”dua Haram” merupakan istilah yang sering digunakan untuk menyebut dua
kota, yakni Mekah dan Madinah.[28]
Betapa istimewanya kedua kota tersebut. Haramayn merupakan pusat
intelektual muslim dunia. Mulai dari ulama, sufi, filosof, penyair, sejarawan
hingga pengusaha muslim sering bertemu dan saling menukar informasi di sana.
Ulama dan para penuntut ilmu ilmu di Mekah dan Madinah pada umumnya memiliki
pandangan lebih istimewa dibandingkan mereka yang belajar di kota-kota muslim
lain manapun.
Setelah Bani Fathimiyah di Mesir jatuh dan digantikan
oleh Dinasti Shalah al-Din pada tahun 1174 M, maka bergeserlah paham Syiah dan
wilayah Mesir pun kembali ke aliran Sunni. Pada masa tersebut pula ’madrasah’
tak hanya mengepakkan sayapnya di wilayah Mesir, akan tetapi juga muncul di
wilayah sekitarnya seperti Syiria dan Hijaz. Hijaz merupakan sebuah dataran
tandus yang menjadi pembatas antara dataran tinggi Nejad dan dataran
pasir rendah Tihamah, yang antara lain meliputi kota Thaif, Mekah dan Madinah.[29]
Mekah yang dikenal dengan nama Umm al-Qura telah
memiliki potensi sebagai pusat kebudayaan sejak masa pra-Islam. Salah satu hal
yang menjadi alasannya adalah dengan dibangunnya Dar al-Nadwa[30] pada pertengahan
abad ke-5 Masehi yang menjadi awal persemaian bibit tradisi intelektual di
antara penduduk Mekah. Alasan kedua adalah munculnya tradisi unjuk karya sastra
yang dilakukan di sekitar Mekah bersamaan dengan pelaksanaan ibadah haji.[31]
Tradisi tersebut pun melahirkan para penyair yang kemudian menjadi kelompok
yang turut memasyarakatkan ajaran-ajaran islam. Namun sayang, posisinya sebagai
kota perdagangan lebih dominan saat itu.
Sejak lama Masjid Al-Haram sendiri telah menjalankan
peranannya sebagai ’madrasah’ sejak masa-masa awal dengan metode halaqah,
di samping kuttab, ribath[32] dan khanqah[33]. Banyak sarjana
muslim di bidang Fiqih ataupun Ilmu Pengetahuan lainnya yang sejenis telah
mempraktikkan kurikulumnya di beberapa lokasi di sekitar Al-Haram yang dinilai
sebagai tempat yang disucikan/sakral bagi umat muslim serta sebagai pusat studi
ilmu pengetahuan. Konsekuensinya ilmu pengetahuan Islam pun dengan mudah
tersebar ke penjuru wilayah.
Keberadaan pusat pengkajian dan pembelajaran Al-Qur'an
selanjutnya meluas dan berkembang, baik dari segi materi kajian maupun bentuk
atau sistem pembelajarannya. Kemudian mulai tumbuhlah madrasah. Hal yang dapat
dipetik dari masa awal berdirinya madrasah di Mekah adalah adanya inisiatif dan
kemauan kuat para pemimpin/pemuka muslim serta kalangan elit muslim untuk mendirikan
madrasah-madrasah melalui jalur wakaf. Sejak akhir Abad ke-11, banyak
dari kalangan raja dan dermawan muslim yang memberikan kontribusinya terhadap
pendirian institusi pendidikan di Mekah yang secara khusus diperuntukkan bagi
kegiatan transmisi ilmu pengetahuan agama.
Maka tak salah jika pada bagian selanjutnya akan
dikemukakan lebih detail mengenai historisitas lembaga-lembaga madrasah yang
pernah berjaya di Mekah dan Madinah. Terlebih karena keistimewaan keuda kota
tersebut pulalah, madrasah yang dapat mengalami keemasannya.
KESIMPULAN
Berdasarkan keseluruhan pembahasan di atas, dapat ditarik benang
merah bahwa ciri yang paling menonjol dari madrasah-madrasah yang berdiri di
Mekah dan Madinah adalah bahwa hampir semua madrasah tersebut dibangun oleh
penguasa ataupun dermawa non-Hijazi. Namun, hanya ada satu madrasah yaitu
madrasah Syarif Al-‘Ajlan yang dibangun oleh seorang penguasa Mekah, yakni
‘Ajlan Abu Syari’ah (1344). Sementara yang paling banyak mendirikan madrasah di
Mekah adalah penguasa-penguasa dari Dinasti Utsmani. Pada akhirnya, dapat diambil pelajaran bagi kita
agar seyogyanya dilakukan penelitian dan pengusutan kembali terkait
ketegori/golongan tokoh-tokoh yang telah memberikan sumbangan terhadap
berkembangnya Perguruan Tinggi di Mekah. Kebanyakan madrasah di Haramayn
merupakan institusi yang memang didedikasikan terhadap pengajaran salah satu
atau madzhab Fiqih atau lebih. Namun madrasah yang berkembang pada zaman ini
belum dapat sepenuhnya dapat dipahami sebagai pendidikan tinggi dalam konotasi
modern seperti di masa kini hingga awal abad 20-an. Berdirinya Madrasah
Nizhamiyah, yang merupakan era kebangkitan tradisi keilmuan Sunni, sangat
mempengaruhi perkembangan madrasah-madrasah di Haramayn, yang, pada gilirannya,
kemudian menggantikan posisi Nizhamiyah sebagai pusat keilmuan Islam Sunni.
Akan tetapi, kurikulum dan metode pengajaran di Madrasah Haramayn tampaknya
dengan beberapa pengecualian tidak jauh berbeda dengan yang berlaku di Madrasah
Nizhamiyah, yakni lebih menekankan ilmu-ilmu agama, terutama disiplin fiqh dari
empat mazhab hukum yang diakui dalam ortodoksi Sunni.
Perkembangan madrasah-madrasah Haramayn tidak bisa dilepaskan dari
wakaf penguasa-penguasa dan dermawan-dermawan non-Hijazi. Mereka pula yang
sangat menentukan penyelenggaraan pengajaran di madrasah-madarasah Haramayn. Berbeda
dengan madrasah-madrasah lainnya, Madrasah Haramayn memiliki karakteristik yang
kosmopolitan (mendunia). Ini disebabkan antara lain, yang utama, guru-guru dan
murid-murid berdatangan dari penjuru Dunia Muslim. Madrasah Haramayn, seperti
madrasah lainnya, pada umumnya mempunyai satu ruang besar untuk kuliah umum,
ruang kelas untuk guru dan murid, dan perpustakaan. Penyelenggaraanya bersifat
formal, yakni dengan adanya kepala-kepala, guru-guru, qadhi-qadhi
(sesuai dengan mazhab fiqh Sunni), dan pegawai-pegawai yang diangkat secara
resmi. Bahkan dalam kasus tertentu ada pembatasan (kuota) murid, seperti
maksimal 20 murid di Madrasah Al-Ghiyatsiyah dan Sulaimaniyah. Karena semua
formalitas ini, madrasah memiliki sedikit peluang untuk membawa murid-murid ke
tingkat keilmuan yang lebih tinggi. Walaupun demikian, hal yang terakhir ini di
Haramayn diambil posisinya terutama oleh dua Masjid Suci umat Islam, Masjid
Al-Haram dan Masjid Nabawi dengan halaqah-halaqah-nya dan Ribath-Ribath.
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam pada periode
klasik dan pertengahan, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004.
Samsul Nizar, Sejarah
Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.
George
Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the
West, Edinburgh: Edinburgh Unversity Press.
M.
Habib Husnial Pardi, Eksistensi Madrasah Awal (Pada Abad IX-XI M), dalam
Samsul Nizar, ed., Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana,
2005.
Hasan
Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam: Kajian atas Lembaga- lembaga
Pendidikan, Bandung: Mizan, 1994.
Charles
Michael Stanton dalam Syaifuddin, Pendidikan
Tinggi dalam Islam, 2000.
Azyumardi
Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan
XVIII, Bandung: Mizan, 1995.
George
Makdisi, Madrasa and University in the
Middle Ages, Studia Islamica,
32 1970.
George
Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the
West, Edinburgh: Edinburgh University press, 1981.
Ahmad
Syalabi, History of Moslem Education, Beirut: Dar al-Kassyaf, 1954.
Mehdi
Nakosteen, Konstribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat: Deskripsi
Analisis Abad Keemasan Islam. Terjemahan oleh Joko S. Kahhar dan Supriyanto
Abdullah dari History of Islamic Origins of Western Education A.D. 800-1350;
with an Introduction to Medieval Muslim Education. (1964). Surabaya:
Risalah Gusti,1996.
George
Makdisi, Muslim Institutions of Learning
in Eleventh-Century Baghdad, Bulletin of the School of Oriental and
African Studies, University of London, 24/1/1961.
Azra
dalam Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, (1994),
Terjemahan oleh H.Afandi dan Hasan Asari dari Higher Learning in Islam: The
Classical Period, A.D. 700-1.300. (1990). Jakarta: Logos Publishing House.
Seyyed
Hossein Nasr, Sains dan Peradaban di dalam Islam. Terjemahan oleh J.
Mahyuddin dari Science and Civilization in Islam, Bandung: Pustaka,1986.
Ignaz
Goldziher, Introduction to Islamic Theology and Law. Terjemahan oleh
Andras dan Ruth Hamori. Princeton: Princeton University Press, 1981.
Philip
K. Hitti, History of the Arabs, Terj. Cecep Lukman dan Dedi S. Riyadi, Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta, 2008.
Maksum
Mukhtar, dkk. Kajian Islam Haramain:
Pengalaman di Mekah, Belajar Islam di Timur Tengah, Jakarta: Depag
RI, 2002.
[1]Abuddin Nata, Sejarah
Pendidikan Islam pada periode klasik dan pertengahan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), 29.
[3]George
Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the
West, (Edinburgh : Edinburgh Unversity Press), 10.
[4]M.
Habib Husnial Pardi, Eksistensi Madrasah Awal (Pada Abad IX-XI M), dalam
Samsul Nizar, ed., Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta : Kencana,
2005), 214.
[5]Hasan
Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam: Kajian atas
Lembaga- lembaga Pendidikan, (Bandung : Mizan,
1994), 44-45.
[6]Charles
Michael Stanton (1990) dalam Syaifuddin, “Pendidikan
Tinggi dalam Islam”, (2000 ), 4.
[7]Azyumardi
Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan
XVIII, (Bandung : Mizan, 1995), vi.
[8]George Makdisi, “Madrasa and University in the Middle Ages”, Studia
Islamica, 32 (1970), 258; Lihat juga
Asari, Menyingkap, 44-45.
[9]George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in
Islam and the West, (Edinburgh : Edinburgh University press, 1981), 27.
[10]Azyumardi
Azra, Jaringan Ulama’ Timur Tengah dan Kep. Nusantara Abad XVII & XVIII,
(Jakarta : Kencana, 2007), 55.
[11]Makdisi, The Rise of Colleges, 27-34.
[12]Makdisi, The Rise of Colleges, 27-34.
[13]Makdisi, The Rise of Colleges, 30.
[14]Ahmad
Syalabi, History of Moslem Education, (Beirut : Dar al-Kassyaf, 1954),
258.
[15]Mehdi
Nakosteen, Konstribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat: Deskripsi
Analisis Abad Keemasan Islam. Terjemahan oleh Joko S. Kahhar dan Supriyanto
Abdullah dari History of Islamic Origins of Western Education A.D. 800-1350;
with an Introduction to Medieval Muslim Education. (1964). (Surabaya:
Risalah Gusti,1996), 66.
[16]George Makdisi, “Muslim Institutions of Learning in
Eleventh-Century Baghdad”, Bulletin of the School of Oriental and African
Studies, University of London, 24/1(1961), 1-4.
[17]Azra
dalam Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, (1994),
Terjemahan oleh H.Afandi dan Hasan Asari dari Higher Learning in Islam: The
Classical Period, A.D. 700-1.300. (1990). Jakarta: Logos Publishing House.
vi.
[18]Seyyed
Hossein Nasr, Sains dan Peradaban di dalam Islam. Terjemahan oleh J.
Mahyuddin dari Science and Civilization in Islam, (Bandung: Pustaka,1986),
53.
[19]Stanton,
Pendidikan Tinggi, 49.
[20]Stanton,
Pendidikan Tinggi, 50.
[21]Asari,
Menyingkap Zaman, 78.
[22]Ignaz
Goldziher, Introduction to Islamic Theology and Law. Terjemahan oleh
Andras dan Ruth Hamori. (Princeton : Princeton University Press, 1981), 104.
[23]Azra,
Jaringan Ulama, 62.
[24]Azra,
Jaringan Ulama, 62.
[25]Asari,
Menyingkap Zaman, 50-51.
[26]Azra,
Jaringan Ulama, 59.
[27]Azra,
Jaringan Ulama, 59.
[28]Azra,
Jaringan Ulama’, 51.
[29]
Philip K. Hitti, History of the Arabs, Terj. Cecep Lukman dan Dedi S.
Riyadi, (Jakarta : Serambi Ilmu Semesta, 2008), 128.
[30] Dar
al-Nadwa merupakan bangunan tempat pusat aktivitas penduduk Mekah,
khususnya dalam memecahkan persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat.
[31]
Maksum Mukhtar, dkk. “Kajian Islam Haramain : Pengalaman di Mekah”, Belajar
Islam di Timur Tengah (Jakarta: Depag RI, 2002), 18.
[33] Khanqah
: tempat tinggal kaum sufi yang juga dijadikan sarana pendidikan agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar