Jumat, 12 Juni 2015

PERKEMBANGAN MADRASAH PADA ABAD PERTENGAHAN (Studi Pendekatan Sejarah Dalam Mengurai Kemajuan Madrasah)


 
Oleh. Asnawan
(Dosen STAI AL Falah As Sunniyyah Kencong Jember)

Abstrak
Tulisan ini membahas tentang perkembangan madrasah pada abad pertengan dan pemikirannya sehingga mempunyai dampak terhadap perkembangan pemikiran muslim terutama pada lembaga pendidikan Islam, penguasaan ilmu pengetahuan pada abad pertengan ini memberikan angin segar terhadap keberlanjutan pendidikan islam di masa-masa berikutnya, jenjang pendidikan mulai yang sederhna hingga pada pendidikan tingkat tinggi. Untuk itu tulisan ini menelaah lebih dalam tentang perkembangan lembaga pendidikan Islam.
Kata Kunci: Sejarah,Madrasah, Abad Pertengahan

PENDAHULUAN
Pada masa-masa klasik, dunia pendidikan Islam masih belum mengenal sistem madrasah. Kegiatan pendidikan selalu dilaksanakan di tempat yang sederhana dan dianggap paling memungkinkan untuk mengkaji suatu topik permasalahan dalam bidang tertentu, khususnya persoalan agama. Umumnya kegiatan pendidikan dapat dilakukan di rumah-rumah sahabat, rumah ulama’, majlis, masjid, halaqah dengan jenjang pendidikan dasar (kuttâb), jenjang menengah (masjid/masjid khân dan zawiyah) sampai tingkat tinggi (madrasah/al-Jâmi’ah), Majlis al-Munazharah, Majlis al-Muzakarah, Majlis al-Tadris, shuffah, khanqah, ribath, toko buku, perpustakaan, rumah sakit dan badi’ah (Padang Pasir, Dusun Tempat Tinggal Badwi).[1] Sementara Syamsul Nizar mengemukakan lembaga-lembaga pendidikan era klasik pra madrasah itu adalah Rumah, Kuttab, Masjid, dan Saloon.[2]
Ketika menjelaskan mengenai ragam institusi pendidikan islam sebelum madrasah, George Makdisi juga menyebutkan bahwa dalam islam juga dikenal pembagian jenis institusi pendidikan berdasarkan sifat ilmu yang dipelajari. Ada dua macam lembaga pendidikan, yaitu lembaga pendidikan eksklusif (tertutup) yang hanya mengajarkan pengetahuan agama, dan lembaga pendidikan inklusif (terbuka) yang juga mengajarkan pengetahuan umum. Adapun yang termasuk ke dalam kategori lembaga pendidikan eksklusif yaitu halaqah, masjid dan madrasah. Sedangkan yang termasuk ke dalam kategori lembaga pendidikan inklusif antara lain dâr / bayt, khizânah, rumah sakit dan bimaristân.[3]
PEMBAHASAN
Pemaknaan Madrasah
Madrasah merupakan isim makân dari kata darasa yang berarti belajar, yang kemudian menjadi kata madrasatun yang memiliki makna sekolah/madrasah. Jadi, madrasah berarti tempat belajar bagi siswa atau mahasiswa (umat Islam). Karenanya istilah madrasah tidak hanya diartikan dalam arti sempit, tetapi bisa pula dimaknai rumah, istana, kuttâb, perpustakaan, surau, masjid, bahkan juga seorang ibu bisa dikatakan sebagai madrasah pemula.[4] Beberapa sumber menyebutkan bahwa madrasah mulai didirikan dan berkembang pada abad ke 5 H atau abad ke-10 atau ke-11 M.
Madrasah (bahasa Arab) yang akan dibicarakan dalam pembahasan ini tidak sama dengan Madrasah (bahasa Indonesia), yang merupakan lembaga pendidikan dasar atau menengah. Madrasah di sini merujuk pada lembaga pendidikan tinggi Islam yang secara luas berkembang di Dunia Islam pra-modern, yakni sejak abad ke-9 dan sebelum era Al-Jami’ah (“Universitas”). Ciri-ciri lembaga ini tidak dapat dicocokkan secara persis dengan lembaga pendidikan tinggi yang ada sekarang. Hal ini, menurut Asari menimbulkan kesulitan besar dalam penerjemahan kata “madrasah” itu sendiri. Para peneliti sejarah pendidikan Islam yang menulis dalam bahasa-bahasa Barat menerjemahkan “madrasah” secara variatif, misalnya : “schule” atau “hochschule” (Jerman), “school”, “college”, atau “academy” (Inggris).[5]
Terkait dengan konotasi istilah madrasah, Charles Stanton sebagaimana yang dikutip oleh Syaifuddin, menyamakan madrasah dengan Pendidikan Tinggi Islam, walaupun hal tersebut masih menjadi polemik di antara berbagai sejarawan Islam maupun Barat. Menurut Stanton, ada beberapa ciri yang memberikan bukti bahwa madrasah pada masa awal dapat disejajarkan sebagai pendidikan tinggi Islam. Pertama, madrasah merupakan kelanjutan dari pendidikan sebelumnya (halaqah/masjid). Kedua, pendidikan di madrasah diajar oleh seorang syeikh (profesor). Ketiga, setelah madrasah tidak ada lagi pendidikan lanjutannya. Madrasah menurutnya adalah lembaga pendidikan Islam yang khusus mengajarkan ilmu-ilmu yang terspesialisasi, utamanya ilmu-ilmu keagamaan. [6] Menurut Azyumardi Azra dalam pengantar terjemahan buku Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, jika ini diartikan sama dengan “universitas” sebagai universitas litteratum atau universitas magistrorum--yakni lembaga pendidikan tinggi yang mengembangkan penyelidikan bebas berdasarkan nalar--maka pandangan itu keliru.[7]
Sedangkan Makdisi mengemukakan bahwa Madrasah, tidak sama layaknya universitas. Menurut George Makdisi, setidaknya ada tiga perbedaan mendasar antara madrasah dan universitas: Pertama, kata universitas, dalam pengertiannya yang paling awal, merujuk pada komunitas atau sekelompok sarjana dan mahasiswa, sementara madrasah merujuk pada satu bangunan tempat kegiatan pendidikan tinggi berlangsung. Kedua, universitas bersifat hirarkis (pada periode awal berkaitan dengan Gereja) dengan konsekuensi sistem kontrol yang jelas, sedang madrasah bersifat individualistis dan personal dengan kontrol otoritas yang sangat lemah. Ketiga, izin mengajar (ijazah  al-tadris, licentia docendi) pada universitas dikeluarkan oleh komite (semula dengan campur tangan Gereja), sementara pada madrasah ijazah diberikan oleh syaykh secara personal tanpa kaitan apa-apa dengan pemerintahan politik atau yang lainnya. Ia merupakan suatu institusi dan bukan komunitas. Ia merupakan salah satu di antara banyak banyak lembaga yang ada di suatu tempat dengan independensi masing-masing dari yang lain. Hal tersebut terutama dari aspek pendanaan yang diperoleh secara swadaya / donasi mandiri.[8]
Fenomena madrasah diterima secara umum sebagai lembaga tifikal Muslim merupakan hasil perkembangan alami dari dua lembaga yang sudah ada: masjid sebagai lembaga pendidikan--terutama lembaga pendidikan hukum (college of law) dan khan sebagai tempat tinggal mahasiswa. Artinya, madrasah menempati langkah ketiga dari satu garis perkembangan yang berurutan : dari masjid ke masjid-khan, kemudian ke madrasah.[9]
Dalam sejarah pendidikan Islam, makna dari madrasah tersebut memegang peran penting sebagai institusi belajar umat Islam selama pertumbuhan dan perkembangannya. Sebab pemakaian istilah madrasah secara definitif baru muncul pada abad ke-11. Menurut As-Suyuthi yang dikutip oleh Azra, istilah ’madrasah’ baru digunakan secara lebih luas sejak abad ke-9.[10]
Bahkan pada mulanya penggunaan istilah madrasah tidak hanya mengarah pada maknanya sebagai suatu lembaga pendidikan Islam, akan tetapi juga sebagai suatu kelompok aliran atau madzhab tertentu. Pada masa itu ajaran agama Islam telah berkembang secara luas dalam berbagai macam bidang ilmu pengetahuan, dengan berbagai macam madzhab dan pemikiran. Pembagian bidang ilmu pengetahuan tersebut bukan saja meliputi ilmu-ilmu yang berhubungan dengan al-Qur’an dan Hadits, akan tetapi juga ilmu fiqh, ilmu kalam, ilmu tasawwuf dan juga bidang-bidang ilmu filsafat, astronomi, kedokteran, matematika dan berbagai bidang ilmu-ilmu alam dan kemasyarakatan.
Aliran-aliran yang timbul akibat dari perkembangan tersebut saling berebutan pengaruh di kalangan umat Islam, dan berusaha mengembangkan aliran dan madzhabnya masing-masing. Maka terbentuklah madrasah-madrasah dalam pengertian kelompok pikiran, mazhab atau aliran tertentu. Itulah sebabnya sebagian besar madrasah yang didirikan pada masa-masa itu selalu dihubung-hubungkan dengan nama-nama madzhab yang masyhur pada masanya, misalnya madrasah Syafi’iyah, Hanafiyah, Malikiyah atau Hanbaliyah. Sehingga banyak madrasah pada masa tersebut yang juga memiliki karakter tertentu sebagai pembedanya, yaitu yang terletak pada aliran/madzhab tertentu yang dijadikan sebagai pusat kajian utamanya.
George Makdisi juga menulis bahwa madrasah bukanlah lembaga pengajaran Kalam, akan tetapi juga lembaga pengajaran fiqih (hukum). Kemenangan aliran Asy'ariyah atas Muktazilah tidak ada hubungan dengan pembangunan madrasah Nizhamiyah dan madrasah tersebut bukanlah lembaga resmi pemerintah, tetapi lembaga yang dibangun oleh wazir Nizham al-Mulk karena kapasitasnya sebagai pribadi muslim. Makdisi menulis:
Madrasah adalah lembaga pendidikan tinggi (colleges) hukum, dengan beberapa kajian tambahan. Staf pengajarannya tidak mencakup ahli kalam. Pengajar yang mendapat gelar guru besar (professor) adalah pengajar hukum. Mungkin saja ia juga sebagai ahli kalam, tetapi kapasitasnya lebih kepada ahli hukum (guru besar hukum).
Menurut Makdisi, di Madrasah tidak ada posisi untuk mengajarkan kalam.
Sisi lain dari tesis Makdisi adalah melibatkan satu argumen linguistik berkaitan dengan satu istilah teknis yang secara luas dipakai dalam dunia pendidikan Islam pra-modern, sebagaimana terlihat dari sumber-sumber sejarah yang ada. Argumen linguistik ini mencakup semua istilah paedagogis yang berasal dari akar kata "darasa". Argumen ini, terutama digunakan oleh Makdisi untuk mendukung pernyataannya bahwa madrasah adalah suatu lembaga pendidikan fiqih. Makdisi menjelaskan: Justifikasi penerjemahan kata madrasah ini menjadi lembaga pendidikan tinggi hukum dapat ditemukan dalam arti teknis kata jadian dari akar kata darasa. Istilah untuk hukum adalah fiqih. Sebuah pelajaran fiqih disebut dengan dars. Seorang guru besar fiqih adalah mudarris dan darrasa, dalam penggunaannya bila tidak dikaitkan dengan ilmu tertentu, berarti mengajarkan fiqih. Darrasa dan tadris, secara berturut-turut berarti mengajarkan hukum dan hal-hal yang berhubungan dengan pengajaran hukum/fiqih.[11] Sehingga istilah madrasah menurutnya tidak jauh dari lembaga pendidikan bidang ilmu fiqih.
Keterangan di atas cukup menggambarkan secara garis besar kurikulum pendidikan yang diajarkan di madrasah. Ilmu-ilmu agama sangat jelas mendominasi madrasah, seperti juga di lembaga masjid atau masjid khan. Sejauh pengalaman ahli sejarah pendidikan Islam saat ini, belum ada rincian yang jelas tentang kurikulum suatu madrasah. Hal-hal ini memang dianggap sulit apabila dihubungkan dengan sifat-sifat madrasah, yaitu pertama, tidak adanya ikatan organisatoris antara satu madrasah dengan yang lain. Setiap madrasah bebas menentukan materi dan bentuk pengajarannya sendiri sesuai dengan keinginan pemberi waqaf (waqif) yang mendukung operasinya. Kedua, setiap syaikh atau mudarris bebas memilih bidang yang diajarkan.
Pertumbuhan Madrasah pada Abad Pertengahan
Sebagian pendapat ahli menyebutkan bahwa madrasah merupakan transformasi dari masjid. Ada beberapa teori yang berkembang seputar proses transformasi tersebut, antara lain George Makdisi yang menjelaskan bahwa madrasah merupakan transformasi institusi pendidikan Islam dari masjid ke madrasah yang terjadi secara tidak langsung, dan di antaranya melalui tiga tahap : pertama, tahap masjid, kedua tahap masjid khân dan ketiga tahap madrasah. Tahap masjid berlangsung terutama pada abad-abad kedelapan dan abad kesembilan. Pada masa-masa tersebut banyak masjid yang selain difungsikan untuk tempat shalat berjamaah namun juga dimanfaatkan sebagai tempat majlis ta’lim/pendidikan dan membahsa persoalan-persoalan agama. Baghdad menjadi salah satu pusatnya pada waktu itu. Tahap selanjutnya yaitu masjid khan, yaitu suatu masjid yang juga dilengkapi dengan bangunan khan atau sejenis asrama /pemondokan yang letaknya berdampingan dengan masjid tersebut. Asrama tersebut memang dipersiapkan bagi para penuntut ilmu yang datang dari berbagai kota lainnya. Masa ini berlangsung pada abad kesepuluh. Kemudian tahap ketiga yaitu madrasah. Pada tahap ini sudah mulai muncul model madrasah dalam pola yang utuh. Pelopornya adalah madrasah Nizhâm al-Mulk di Baghdad.[12] 
Makdisi, lebih lanjut, menjelaskan perkembangan alami lembaga-lembaga tersebut, yakni bahwa pada abad ke-2/ke-8 atau lebih awal lagi, masjid telah menjadi sebuah lembaga pendidikan tinggi (college) yang menyediakan gaji untuk stafnya dan biaya pendidikan untuk mahasiswanya, yaitu masjid khan. Masjid-khan (the masjid-inn complex) mengambil satu langkah lebih maju dan (dengan) menyediakan bagi mahasiswa penginapan dan kemungkinan makanan. Akhirnya, madrasah menyediakan bagi mahasiswa seluruh kebutuhan utamanya dalam belajar.[13]
Berbeda dengan Ahmad Syalabi, menurutnya perkembangan dari masjid menuju madrasah terjadi secara langsung dan tidak memakai lembaga perantara. Menurut beliau, perkembangan madrasah dapat dkatakan sebagai konsekuensi logis dari semakin ramainya kegiatan pengajian di masjid yang fungsi utamanya adalah sebagai tempat ibadah. Kemudian untuk tidak mengganggu ketenangan beribadah di masjid, maka kegiatan penddikan dibuatkan tempat khusus yang kemudian dikenal dengan nama madrasah.[14]
Penjelasan lain yang memadai untuk mengetahui bahwa madrasah merupakan perkembangan alami umat Islam datangnya dari Mehdi Nakosteen, yaitu bahwa pelajaran yang diberikan di maktab-maktab, sekolah-sekolah istana dan sekolah masjid memiliki beberapa keterbatasan. Kurikulum terbatas, sekolah tidak selalu memiliki guru-guru yang baik, fasilitas fisik tidak mendukung bagi lingkungan pendidikan yang memadai.[15] Pertentangan antara tujuan pendidikan dan tujuan agama di dalam masjid hampir-hampir tidak dapat diperoleh titik temu. Tujuan pendidikan menghendaki adanya aktivitas sehingga menimbulkan hiruk pikuk, sementara beribadat di dalam masjid menghendaki ketenangan dan kekhusyukan beribadat. Dengan demikian, sangat perlu untuk sedapat mungkin membebaskan masjid dari beban-beban sekular-sektarian. Didirikannya sekolah dengan bentuk baru, yakni madrasah adalah sesuatu yang wajar dan diperlukan.
Faktor eksternal yang juga mendukung dikembangkannya konsep baru ini adalah adanya kenyataan bahwa kemajuan dan penyebaran ilmu pengetahuan menyebabkan adanya sekelompok orang yang menemui hambatan untuk menciptakan kehidupan yang layak melalui ilmu pengetahuan abstrak mereka (Tidak jauh berbeda dengan kondisi saat ini). Oleh karena itu perlu untuk memajukan pendidikan dan memberikan gaji kepada mereka sebagaimana yang benar-benar telah diwujudkan oleh madrasah.
Lahirnya Madrasah Nizhamiyah di Baghdad
Pembicaraan mengenai madrasah yang pertama kali dibangun biasanya selalu dikaitkan dengan nama Nizham al-Mulk (w.485/1092), salah seorang wazir Dinasti Salajiqah atau Seljuk sejak 456/1064 sampai wafatnya, yang kemudian terkenal sebagai Madrasah Nizham al-Mulk. Sehingga para sejarawan pendidikan Islam kebanyakan menyimpulkan bahwa Nizham al-Mulk adalah orang pertama yang mendirikan madrasah.
Madrasah yang didirikan oleh Nizhâm al-Mulk sendiri dikenal merupakan prototype madrasah berciri Sunni pertama kali yang didirikan di Baghdad pada tahun 1067, yang diberi nama madrasah Nizhâmiyah yang didirikan oleh sultan Nizhâm al-Mulk. Madrasah tersebut juga dikenal sebagai lembaga yang resmi mengajarkan doktrin Asy’ariyah.[16] Walaupun ada pula yang berpendapat bahwa madrasah tersebut bukanlah yang pertama kali, namun hingga saat ini berbagai hasil penelitian selalu menempatkan madrasah tersebut dalam deretan madrasah yang mempelopori perkembangan lembaga pendidikan islam.  institusi pendidikan yang memperlihatkan ciri-ciri ’madrasah’ sebagaimana yang kita kenal sekarang, didirikan pertama kali di Nisapur, Iran, pada perempatan pertama Abad ke-11. Setelah beberapa tahun kemudian, muncullah
Karena latar belakang Nizhâm al-Mulk tersebut sebagai seorang penganut Syafi’iyah, maka keseluruhan madrasah yang dibangun memang diperuntukkan secara khusus bagi penganut madzhab yang sama. Sehingga jelas bahwa dalam hal ini posisi kelompok Syafi’iyah (yang biasanya juga Asy’ariyah) semakin menguat dan secara tidak langsung hal ini berarti semakin melemahnya kelompok lain. Selain di Nisapur, sultan Nizhâm al-Mulk juga mendirikan madrasah di tempat lainnya, seperti Basrah, Irak, Isfahan dan Iran. Kemudian para penguasa muslim lainnya pun mengikuti langkah beliau dengan mendirikan madrasah-madrasah sendiri. Madrasah-madrasah tersebut tidak hanya berfungsi sebagai institusi transmisi ilmu saja, akan tetapi juga sebagai locus utama reproduksi ulama. Bahkan hingga akhir abad ke-13, madrasah juga disebut-sebut turut memberikan pengaruhnya atas  munculnya gerakan ortodoksi Islam Sunni.
Akan tetapi, penelitian lebih akhir, menurut Azyumardi Azra dengan mengutip Richard Bulliet bahwa eksistensi madrasah-madrasah lebih tua berada di kawasan Nishapur, Iran.[17] Pada sekitar tahun 400 H/1009 M terdapat Madrasah al-Bayhaqiyyah yang didirikan Abu Hasan ‘Ali al-Bayhaqi (w.414/1023). Bahkan, Bullet menyebut 39 madrasah di wilayah Persia, yang berkembang dua abad sebelum Madrasah Nizhamiyah. Yang tertua adalah Madrasah Miyan Dahiya yang didirikan Abi Ishaq Ibrahim ibn Ibrahim di Nishapur. Pendapat ini didukung sejarawan pendidikan Islam, Naji Ma’ruf, yang menyatakan bahwa di Khurasan telah berkembang madrasah 165 tahun sebelum kemunculan Madrasah Nizhamiyah. Selanjutnya, ‘Abd al-’Al mengemukakan, pada masa Sultan Mahmud al-Ghaznawi (berkuasa 388-421/998/1030) juga terdapat Madrasah Sa’idiyyah.
Dalam hal ini baik kiranya diungkapkan pendapat Seyyed Hossein Nasr dalam Sains dan Peradaban di dalam Islam. Dia mengatakan bahwa lembaga pengajaran tinggi mencapai klimaks pembangunannya pada pertengahan akhir abad ke-5/ke-11, ketika wazir Dinasti Seljuq, Nizam Al-Mulk mendirikan suatu rantai perguruan tinggi (college) atau madaris (tunggal: madrasah) di Baghdad, Naishapur, dan kota-kota lain.[18] Pendapat senada diungkapkan oleh Stanton (1994:49), yaitu bahwa Madrasah Nizhamiyah berdiri sebagai madrasah paling unggul pada abad ke-11. Terletak di pusat kerajaan, madrasah ini menjadi salah satu pusat pendidikan tinggi yang paling terkenal abad ini dan menjadi model bagi pembangunan lembaga-lembaga serupa di seluruh daerah kekuasaan Islam. Lagi pula, oleh karena tersedianya dokumen-dokumen tentang madrasah ini, para ilmuwan mengetahui Nizhamiyah dan cara kerjanya lebih baik dari pengetahuan mereka tentang madrasah lain yang manapun.[19]
Dari dokumen-dokumen yang ada, meski tidak secara utuh, Stanton menjelaskan tentang Madrasah Nizhamiyah ini, terutama bentuk wakaf yang membangun dan membiayainya, yaitu: (1) Madrasah Nizhamiyah merupakan wakaf yang disediakan untuk kepentingan penganut mazhab Syafi’i dalam fiqh dan ushul al-fiqh; (2) Harta benda yang diwakafkan kepada Nizhamiyah adalah untuk kepentingan penganut mazhab Syafi’i dalam fiqh dan ushul al-fiqh; (3) Pejabat-pejabat utama Nizhamiyah harus bermazhab Syafi’i dalam fiqh dan ushul fiqh, ini mencakup mudarris, wa’idh dan pustakawan; (4) Nizahamiyah harus mempunyai seorang tenaga pengajar bidang kajian al-Qur’an; (5) Nizhamiyah harus mempunyai seorang tenaga pengajar bahasa Arab; dan (6) Setiap staf menerima bagian tertentu dari penghasilan yang diperoleh dari wakaf Nizhamiyah.[20]
Akan tetapi, sepertinya kurang lengkap jika tidak dimasukkan paham Asy’ariyah dalam kalam (“teologi”) di Madrasah Nizhamiyah sebagai prototipe madrasah Sunni. Sebagaimana yang diungkapkan Murtadha Hasan Naqib sebagai berikut : Madrasah Nizhamiyah adalah madrasah Syafi’iyah, jika jaringan lembaga pendidikan ini dilihat dalam konteks dokumen wakaf Nizhamiyah Baghdad dan Isfahan serta afiliasi mahasiswa dan stafnya, terutama para mudarris, dan untuk siapa satu madrasah dibangun.[21]
Begitupun, Madrasah Nizhamiyah memang menyebarkan kalam aliran Asy’ariyah, meskipun aspek ini harus dilihat dalam konteks ke-syafi’iyah-an lembaga tersebut. Kita tidak punya bukti langsung bahwa para mudarris mengajarkan kalam di Madrasah Nizhamiyah. Sebelumnya telah ditunjukkan bahwa Al-Juwayni, yang dipercayakan melaksanakan pengajaran (tadris), memang mengajarkan kalam Asy’ariyah kepada sejumlah mahasiswanya. Walaupun tidak dapat dipastikan apakah dia melakukan hal ini di dalam madrasah Nizhamiyah di Nisyapur. Hanya dalam hubungannya dengan wa’idh, berdasarkan kasus Madrasah Nizhamiyah di Baghdad, kita memiliki bukti nyata bahwa sang wa’idh (juga beberapa mudarris) menyebarkan kalam Asya’ariyah di Nizhamiyah.
Penegasan lebih jelas mengenai Madrasah Nizhamiyah yang mengajarkan kalam Asy’ariyah datangnya dari Ignaz Goldziher. Bahkan, hal ini dikaitkan dengan kemenangan kalam Asy’ariyah atas Mu’tazilah dan kelompok Hanbaliyah. Oleh karenanya diungkapkan bahwa “karya dari lembaga (madrasah) ini menandai satu titik penting tidak saja dalam pendidikan Islam tetapi juga dalam teologi Islam (baca: ortodoksi Sunni)”.[22] Oleh karena itu, Azra (1995:62) menegaskan bahwa “mempunyai komitmen berpegang teguh pada doktrin Asy’ariyah dalam kalam (“teologi”) dan ajaran Syafi’i dalam fiqh, Madrasah Nizhamiyah menjadi lembaga pendidikan terkemuka Sunni”.[23] Dari keterangan di atas dapat dilihat bagaimana gambaran suatu kurikulum di Madrasah Nizhamiyah, yaitu bahwa ilmu-ilmu agama begitu mendominasi kurikulum madrasah ini seperti ilmu al-Qur’an (dan tafsirnya), hadis, fiqih, ushul fiqih, ilmu kalam,  dan ilmu-ilmu lain yang terkait dengannya--bahasa Arab (al-nahu) dan sastra (adab) contohnya.
Di samping di Baghdad, dia pun mendirikan  madrasah-madrasah di Basrah dan Mosul (Irak), Isfahan, Nishapur, Merv, Balkh, dan Herat (Iran). Penguasa-penguasa Muslim lain di Timur Tengah segera mengikuti langkah-langkah Nizham Al-Mulk dengan mendirikan madrasah-madrasah mereka sendiri. Madrasah-madrasah ini berfungsi tidak hanya sebagai institusi bagi tansmisi ilmu, tetapi juga sebagai locus utama reproduksi ulama. Sampai akhir abad ke-13, madrasah-madrasah ini menjadi wahana utama bagi kebangkitan doktrin Sunni.[24]
Dengan demikian, Madrasah Nizhamiyah (dan madrasah-madrasah lainnya) merupakan satu fenomena penting tidak saja dalam pendidikan Islam tetapi juga dalam konteks sejarah peradaban Islam secara umum. Hal ini antara lain karena: (a) pembangunan jaringan Madrasah Nizhamiyah adalah bagian signifikan dari kejayaan peradaban Islam--khususnya di toritorial Dinasti Seljuq (429-590/1038-1194); (b) fenomena ini hampir bertepatan dengan alih kekuasaan dari Dinasti Syi’ah Buwayhi (320-450/932-1062) kepada Dinasti Sunni Seljuq yang kemudian mengakibatkan terjadinya “kebangkitan kembali” Sunni; dan (c) sejarah pendidikan Islam menunjukkan bahwa madrasah adalah lembaga pendidikan Islam par excellence sampai pada periode moderen dengan diperkenalkannya lembaga-lembaga moderen, seperti universitas.[25]
Madrasah Nizhamiyah ini, pada gilirannya pula, mempengaruhi dan menjadi model bagi terbentuknya institusi pendidikan Muslim yang serupa di beberapa wilayah Islam lainnya di kemudian hari. Pengaruh yang sangat terasa dari kebangkitan madrasah ortodoksi Sunni tersebut, dengan tidak terlalu lama, terjadi di dua kota suci umat Islam, yaitu Haramayn, Makkah dan Madinah. Dengan kebangkitan madrasah-madrasah--begitu pula institusi-institusi keilmuan lainnya, seperti halaqah-halaqah dan ribath-ribath--di Haramayn ini, pada gilirannya, menjadi pusat keilmuan Islam yang sangat signifikan dan pusat penyebaran ortodoksi Sunni ke wilayah-wilayah Islam dengan jaringan ulama-ulamanya. Hal ini disebabkan, tidak lain, posisi Haramayn yang begitu istimewa bagi umat Islam.
Dengan signifikansi keagamaan khas seperti itu, menurut Azyumardi Azra , tidak heran kalau banyak keutamaan (fadha’il) diletakkan kepada Makkah dan Madinah. Salah satu keutamaannya yang dijelaskan adalah “ilmu yang diperoleh di Haramayn dipandang lebih tinggi nilainya daripada ilmu yang diperoleh di pusat-pusat keilmuan lainnya”.[26]
Bahkan, dengan adanya aktivitas haji setiap tahun, maka Haramayn menjadi pusat intelektual Dunia Muslim, di mana ulama, sufi, filosof, penyair, penguasa dan sejarawan Muslim bertemu dan saling menukar informasi. Dengan demikian, para ulama dan penuntut ilmu di Haramayn pada umumnya memiliki pandangan keagamaan lebih kosmopolitan dibandingkan mereka yang berada di kota-kota Muslim lain.[27]
Sedangkan kata ”Harâmayn” yang secara bahasa memiliki arti ”dua Haram” merupakan istilah yang sering digunakan untuk menyebut dua kota, yakni Mekah dan Madinah.[28] Betapa istimewanya kedua kota tersebut. Haramayn merupakan pusat intelektual muslim dunia. Mulai dari ulama, sufi, filosof, penyair, sejarawan hingga pengusaha muslim sering bertemu dan saling menukar informasi di sana. Ulama dan para penuntut ilmu ilmu di Mekah dan Madinah pada umumnya memiliki pandangan lebih istimewa dibandingkan mereka yang belajar di kota-kota muslim lain manapun.
Setelah Bani Fathimiyah di Mesir jatuh dan digantikan oleh Dinasti Shalah al-Din pada tahun 1174 M, maka bergeserlah paham Syiah dan wilayah Mesir pun kembali ke aliran Sunni. Pada masa tersebut pula ’madrasah’ tak hanya mengepakkan sayapnya di wilayah Mesir, akan tetapi juga muncul di wilayah sekitarnya seperti Syiria dan Hijaz. Hijaz merupakan sebuah dataran tandus yang menjadi pembatas antara dataran tinggi Nejad dan dataran pasir rendah Tihamah, yang antara lain meliputi kota Thaif, Mekah dan Madinah.[29]
Mekah yang dikenal dengan nama Umm al-Qura telah memiliki potensi sebagai pusat kebudayaan sejak masa pra-Islam. Salah satu hal yang menjadi alasannya adalah dengan dibangunnya Dar al-Nadwa[30] pada pertengahan abad ke-5 Masehi yang menjadi awal persemaian bibit tradisi intelektual di antara penduduk Mekah. Alasan kedua adalah munculnya tradisi unjuk karya sastra yang dilakukan di sekitar Mekah bersamaan dengan pelaksanaan ibadah haji.[31] Tradisi tersebut pun melahirkan para penyair yang kemudian menjadi kelompok yang turut memasyarakatkan ajaran-ajaran islam. Namun sayang, posisinya sebagai kota perdagangan lebih dominan saat itu.
Sejak lama Masjid Al-Haram sendiri telah menjalankan peranannya sebagai ’madrasah’ sejak masa-masa awal dengan metode halaqah, di samping kuttab, ribath[32] dan khanqah[33]. Banyak sarjana muslim di bidang Fiqih ataupun Ilmu Pengetahuan lainnya yang sejenis telah mempraktikkan kurikulumnya di beberapa lokasi di sekitar Al-Haram yang dinilai sebagai tempat yang disucikan/sakral bagi umat muslim serta sebagai pusat studi ilmu pengetahuan. Konsekuensinya ilmu pengetahuan Islam pun dengan mudah tersebar ke penjuru wilayah.
Keberadaan pusat pengkajian dan pembelajaran Al-Qur'an selanjutnya meluas dan berkembang, baik dari segi materi kajian maupun bentuk atau sistem pembelajarannya. Kemudian mulai tumbuhlah madrasah. Hal yang dapat dipetik dari masa awal berdirinya madrasah di Mekah adalah adanya inisiatif dan kemauan kuat para pemimpin/pemuka muslim serta kalangan elit muslim untuk mendirikan madrasah-madrasah melalui jalur wakaf. Sejak akhir Abad ke-11, banyak dari kalangan raja dan dermawan muslim yang memberikan kontribusinya terhadap pendirian institusi pendidikan di Mekah yang secara khusus diperuntukkan bagi kegiatan transmisi ilmu pengetahuan agama.
Maka tak salah jika pada bagian selanjutnya akan dikemukakan lebih detail mengenai historisitas lembaga-lembaga madrasah yang pernah berjaya di Mekah dan Madinah. Terlebih karena keistimewaan keuda kota tersebut pulalah, madrasah yang dapat mengalami keemasannya.


KESIMPULAN
Berdasarkan keseluruhan pembahasan di atas, dapat ditarik benang merah bahwa ciri yang paling menonjol dari madrasah-madrasah yang berdiri di Mekah dan Madinah adalah bahwa hampir semua madrasah tersebut dibangun oleh penguasa ataupun dermawa non-Hijazi. Namun, hanya ada satu madrasah yaitu madrasah Syarif Al-‘Ajlan yang dibangun oleh seorang penguasa Mekah, yakni ‘Ajlan Abu Syari’ah (1344). Sementara yang paling banyak mendirikan madrasah di Mekah adalah penguasa-penguasa dari Dinasti Utsmani. Pada akhirnya, dapat diambil pelajaran bagi kita agar seyogyanya dilakukan penelitian dan pengusutan kembali terkait ketegori/golongan tokoh-tokoh yang telah memberikan sumbangan terhadap berkembangnya Perguruan Tinggi di Mekah. Kebanyakan madrasah di Haramayn merupakan institusi yang memang didedikasikan terhadap pengajaran salah satu atau madzhab Fiqih atau lebih. Namun madrasah yang berkembang pada zaman ini belum dapat sepenuhnya dapat dipahami sebagai pendidikan tinggi dalam konotasi modern seperti di masa kini hingga awal abad 20-an. Berdirinya Madrasah Nizhamiyah, yang merupakan era kebangkitan tradisi keilmuan Sunni, sangat mempengaruhi perkembangan madrasah-madrasah di Haramayn, yang, pada gilirannya, kemudian menggantikan posisi Nizhamiyah sebagai pusat keilmuan Islam Sunni. Akan tetapi, kurikulum dan metode pengajaran di Madrasah Haramayn tampaknya dengan beberapa pengecualian tidak jauh berbeda dengan yang berlaku di Madrasah Nizhamiyah, yakni lebih menekankan ilmu-ilmu agama, terutama disiplin fiqh dari empat mazhab hukum yang diakui dalam ortodoksi Sunni.
Perkembangan madrasah-madrasah Haramayn tidak bisa dilepaskan dari wakaf penguasa-penguasa dan dermawan-dermawan non-Hijazi. Mereka pula yang sangat menentukan penyelenggaraan pengajaran di madrasah-madarasah Haramayn. Berbeda dengan madrasah-madrasah lainnya, Madrasah Haramayn memiliki karakteristik yang kosmopolitan (mendunia). Ini disebabkan antara lain, yang utama, guru-guru dan murid-murid berdatangan dari penjuru Dunia Muslim. Madrasah Haramayn, seperti madrasah lainnya, pada umumnya mempunyai satu ruang besar untuk kuliah umum, ruang kelas untuk guru dan murid, dan perpustakaan. Penyelenggaraanya bersifat formal, yakni dengan adanya kepala-kepala, guru-guru, qadhi-qadhi (sesuai dengan mazhab fiqh Sunni), dan pegawai-pegawai yang diangkat secara resmi. Bahkan dalam kasus tertentu ada pembatasan (kuota) murid, seperti maksimal 20 murid di Madrasah Al-Ghiyatsiyah dan Sulaimaniyah. Karena semua formalitas ini, madrasah memiliki sedikit peluang untuk membawa murid-murid ke tingkat keilmuan yang lebih tinggi. Walaupun demikian, hal yang terakhir ini di Haramayn diambil posisinya terutama oleh dua Masjid Suci umat Islam, Masjid Al-Haram dan Masjid Nabawi dengan halaqah-halaqah-nya dan Ribath-Ribath.

DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata,  Sejarah Pendidikan Islam pada periode klasik dan pertengahan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.

Samsul Nizar,  Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.

George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West, Edinburgh: Edinburgh Unversity Press.

M. Habib Husnial Pardi, Eksistensi Madrasah Awal (Pada Abad IX-XI M), dalam Samsul Nizar, ed., Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2005.

Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam: Kajian atas Lembaga-  lembaga Pendidikan, Bandung: Mizan, 1994.

Charles Michael Stanton dalam Syaifuddin, Pendidikan Tinggi dalam Islam, 2000.

Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Bandung: Mizan, 1995.

George Makdisi, Madrasa and University in the Middle Ages, Studia Islamica,  32 1970.

George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West, Edinburgh: Edinburgh University press, 1981.

Ahmad Syalabi, History of Moslem Education, Beirut: Dar al-Kassyaf, 1954.
Mehdi Nakosteen, Konstribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat: Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam. Terjemahan oleh Joko S. Kahhar dan Supriyanto Abdullah dari History of Islamic Origins of Western Education A.D. 800-1350; with an Introduction to Medieval Muslim Education. (1964). Surabaya: Risalah Gusti,1996.

George Makdisi, Muslim Institutions of Learning in Eleventh-Century Baghdad, Bulletin of the School of Oriental and African Studies, University of London, 24/1/1961.

Azra dalam Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, (1994), Terjemahan oleh H.Afandi dan Hasan Asari dari Higher Learning in Islam: The Classical Period, A.D. 700-1.300. (1990). Jakarta: Logos Publishing House.

Seyyed Hossein Nasr, Sains dan Peradaban di dalam Islam. Terjemahan oleh J. Mahyuddin dari Science and Civilization in Islam, Bandung: Pustaka,1986.

Ignaz Goldziher, Introduction to Islamic Theology and Law. Terjemahan oleh Andras dan Ruth Hamori. Princeton: Princeton University Press, 1981.

Philip K. Hitti, History of the Arabs, Terj. Cecep Lukman dan Dedi S. Riyadi, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008.

Maksum Mukhtar, dkk. Kajian Islam Haramain: Pengalaman di Mekah, Belajar Islam di Timur Tengah, Jakarta: Depag RI, 2002.



[1]Abuddin Nata,  Sejarah Pendidikan Islam pada periode klasik dan pertengahan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), 29.
[2]Samsul Nizar,  Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), 110.
[3]George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West, (Edinburgh : Edinburgh Unversity Press), 10.
[4]M. Habib Husnial Pardi, Eksistensi Madrasah Awal (Pada Abad IX-XI M), dalam Samsul Nizar, ed., Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta : Kencana, 2005), 214.
[5]Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam: Kajian atas Lembaga-     lembaga Pendidikan, (Bandung : Mizan, 1994), 44-45.
[6]Charles Michael Stanton (1990) dalam Syaifuddin, “Pendidikan Tinggi dalam Islam”, (2000 ), 4.
[7]Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Bandung : Mizan, 1995), vi.
[8]George Makdisi, “Madrasa and University in the Middle Ages”, Studia Islamica,  32 (1970), 258; Lihat juga Asari, Menyingkap, 44-45.
[9]George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West, (Edinburgh : Edinburgh University press, 1981), 27.
[10]Azyumardi Azra, Jaringan Ulama’ Timur Tengah dan Kep. Nusantara Abad XVII & XVIII, (Jakarta : Kencana, 2007), 55.
[11]Makdisi, The Rise of Colleges, 27-34.
[12]Makdisi, The Rise of Colleges, 27-34.
[13]Makdisi, The Rise of Colleges, 30.
[14]Ahmad Syalabi, History of Moslem Education, (Beirut : Dar al-Kassyaf, 1954), 258.
[15]Mehdi Nakosteen, Konstribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat: Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam. Terjemahan oleh Joko S. Kahhar dan Supriyanto Abdullah dari History of Islamic Origins of Western Education A.D. 800-1350; with an Introduction to Medieval Muslim Education. (1964). (Surabaya: Risalah Gusti,1996), 66.
[16]George Makdisi, “Muslim Institutions of Learning in Eleventh-Century Baghdad”, Bulletin of the School of Oriental and African Studies, University of London, 24/1(1961), 1-4.
[17]Azra dalam Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, (1994), Terjemahan oleh H.Afandi dan Hasan Asari dari Higher Learning in Islam: The Classical Period, A.D. 700-1.300. (1990). Jakarta: Logos Publishing House. vi.
[18]Seyyed Hossein Nasr, Sains dan Peradaban di dalam Islam. Terjemahan oleh J. Mahyuddin dari Science and Civilization in Islam, (Bandung: Pustaka,1986), 53.
[19]Stanton, Pendidikan Tinggi, 49.
[20]Stanton, Pendidikan Tinggi, 50.
[21]Asari, Menyingkap Zaman, 78.
[22]Ignaz Goldziher, Introduction to Islamic Theology and Law. Terjemahan oleh Andras dan Ruth Hamori. (Princeton : Princeton University Press, 1981), 104.
[23]Azra, Jaringan Ulama, 62.
[24]Azra, Jaringan Ulama, 62.
[25]Asari, Menyingkap Zaman, 50-51.
[26]Azra, Jaringan Ulama, 59.
[27]Azra, Jaringan Ulama, 59.
[28]Azra, Jaringan Ulama’, 51.
[29] Philip K. Hitti, History of the Arabs, Terj. Cecep Lukman dan Dedi S. Riyadi, (Jakarta : Serambi Ilmu Semesta, 2008), 128.
[30] Dar al-Nadwa merupakan bangunan tempat pusat aktivitas penduduk Mekah, khususnya dalam memecahkan persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat.
[31] Maksum Mukhtar, dkk. “Kajian Islam Haramain : Pengalaman di Mekah”, Belajar Islam di Timur Tengah (Jakarta: Depag RI, 2002), 18.
[32] Ribath : benteng kaum mujahidin yang terletak di perbatasan dengan garis depan musuh.
[33] Khanqah : tempat tinggal kaum sufi yang juga dijadikan sarana pendidikan agama.